PERPUSTAKAAN DIGITAL DAN HYBRIDA
Senin, 16 September 2019
Kelahiran dan perkembangan teknologi informasi terutama yang dimotori oleh teknologi komputer, memang kemudian mempercepat dan mengubah berbagai praktik penting didalam bidang perpustakaan, informasi, dokumentasi. Secara sistematik telah terjadi pula perubahan dalam cara kita memandang teknologi informasi, dari semata-mata hanya memusatkan perhatian pada kemampuan mesin dalam mengolah informasi, menjadi perhatian pada peran teknologi dalam hubungan antar manusia sebagai anggota masyarakat yang semakin lama semakin intesif menggunakan informasi dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Perkembangan di dunia informasi dan teknologi dalam kurun waktu terakhir ini menampakkan kamajuan yang luar biasa.
Namum kata perpustakaan didalam perpustakaan digital itu sendiri membuktikan bahwa kalaupun ada lompatan, maka lompatan itu sebenarnya terjadi karena ada landasan penjejak yang dipakai untuk melompat. Seberapa jauh kita melompat, tergantung kepada seberapa kokoh landasan untuk melompat. Artinya bahwa perpustakaan itu melompat dan menjadi hebat dalam kerangka sebuah kosa kata saja, sebab makna hebat ini ternyata tidak diimbangi dengan fakta yang belum hebat.
Putu Laxman Pendit, Perpustakaan Digital Dari A Sampai Z, Jakarta : Cita Karyakarsa Mandiri, 2008. Hlm. 3.
Sebelum konsep perpustakaan digital mengkristal dan populer seperti sekarang ini, ada beberapa pemikiran tentang perkembangan perpustakaan digital yang lebih evolutif dan memberika perhatian yang lebih banyak kepada peran penting perpustakaan biasa. Pemikiran tersebut terangkum dalam konsep tentang Perpustakaan “Dua Muka” atau lebih dikenal Hybrid Library (Perpustakaan Hibrida). Mungkin bagi kita di Indonesia, istilah perpustakaan Hybrid Library masih asing terdengar di telinga kita bila dibandingkan dengan istilah Perpustakaan Elektronik. Kita lebih sering mengenal istilah Hibrida dalam bidang pertanian, khususnya tanaman, seperti kelapa hibrida. Padahal istilah tersebut sudah diperkenalkan tujuh belas tahun yang lalu, tepatnya tahun 1998 oleh Chris Rusbridge. Hybrid library merupakan perpaduan antara perpustakaan konvensional dengan perpustakaan elektronik atau digital, dimana sumber-sumber informasi elektronis dan tercetak digunakan untuk mendukung satu dengan yang lainnya. Dengan kata lain, Hybrid Library merupakan titik tengah antara perpustakaan tradisional dengan perpustakaan elektronik. Hybrid Library didesain untuk mengelola teknologi dari dua sumber yang berbeda, yaitu sumber elektronik dan sumber koleksi tercetak yang bisa diakses melalui jarak dekat dan jarak jauh. Secara sederhana, bisa disebut sebagai perpaduan koleksi digital (e-book/buku elektronik) dan koleksi konvensional (buku cetak).
Negara yang termasuk paling aktif dalam melakukan penelitian atau mengembangan konsep Hybrid Library adalah Inggris. Negara ini menyelengarakan lima proyek Hybrid Library masing-masing diberi nama BUILDER, AGORA, MALIBU, HEADLINE, DAN HYLIFE. Masing-masing proyek ini memiliki ciri tersendiri namun secara bersama mereka mencari cara terbaik mengembangkan jasa perpustakaan dengan memanfaatkan teknologi terbaru. Secara sepintas, perbedaan masing-masing proyek itu adalah sebagai berikut:
BUILDER HYBRID LIBRARY, dikembangkan di University of Birmingham untuk mempelajari dampak perpustakaan Hibrida terhadap pemakai di perguruan tinggi, mulai dari mahasiswa, pengajar, sampai para pengelola kampus. Proyek ini berkonsentrasi pada pengamatan tentang lingkungan penyediaan jasa informasi (service environment) yang menggabungkan jasa perpustakaan biasa dan jasa elektronik. Kebetulan, pada saat bersamaan University of Birmingham juga sedang mengembangkan lingkungan belajar baru yangmemanfaatkan teknologi komputer.
AGORA, merupakan sebuah konsorsium yang dipimpin oleh University of East Anglia dengan konsentrasi pada Hybrid Library Management System. Dalam proyek ini, perhatian diberikan kepada pengembangan sistem informasi berbasis konsep ‘cari-temukan, diminta- sajikan’ (search, locate, request and deliver). Berbagai eksperimen dilakukan untuk mengembangkan sebuah layanan terintegrasi, menggunakan standar Z39.50, yang menyatukan berbagai fungsi dan jasa perpustakaan ke dalam satu layanan berbasis web. Pemakai diharapkan dapat terbantu oleh sebuah layanan yang serupa untuk berbagai macam keperluan menggunakan berbagai jenis media, baik yang ada di koleksi lokal perpustakaan, maupun yang ada di koleksi perpustakaan luar. MALIBU, dikembangkan oleh King’s College London, khusus untuk mempelajari pengembangan Hybrid Library di bidang ilmu budaya (humanities). Menarik untuk dicatat proyek ini mempelajari pula kemungkinan keterlibatan para pemakai jasa dengan mengajak mereka membuat sebuah User Scenario. Para teknolog dan pustakawan kemudian menerapkan skenario ini pada rencana pengembangan jasa dan manajemen jasa itu.
HEADLINE PROJECT, dikerjakan oleh London School of Economics bereksperimen dengan lingkungan jasa informasi personal alias Personal Information Environment (PIE) dengan mengembankan sebuah portal yang memungkinkan para pemakai perpustakaan mengakses informasi elektronik maupun non-elektronik secara terintegrasi. Portal PIE ini dapat diubah-ubah sesuai selera pemakai dan memberikan fasilitas untuk menghimpun pemakai yang memiliki kepentingan sama dalam satu kelompok khusus.
HYLIFE DI UNIVERSITY OF NORTHUMBRIA, memfokuskan diri pada masalah-masalah non-teknologi untuk memahami bagaimana cara terbaik mengoperasikan perpustakaan hibrida. Salah satu hasil proyek ini adalah Hybrid Library Toolkit, sebuah panduan berisi 10 langkah implementasi bagi perpustakaan-perpustakaan yang ingin mengembangkan jasa elektronik mereka yang sesuai dengan kebutuhan institusi.
Wiji Suwarno, Pengetahuan Dasar Kepustakaan, Bogor : Ghalia Indonesia, 2010. Hlm. 44.
Hybrid Library memiliki koleksi tercetak yang permanen dan setara dengan koleksi elektronik atau digitalnya.Portalperpustakaan yang sepenuhnya digital, tidak memilikkoleksi tercetak sama sekali. Hybrid Library juga bermaksud mempertahankan koleksitercetak, bukan menggantikan semuanya dengan koleksi elektronik atau digital.
Hybrid Library memperluas konsep dan cakupan jasa informasi, sehingga penambahan koleksi elektronik dan digital serta penggunaan teknologi komputer tidak dipisahkan dari jasa berbasis koleksi tercetak. Jasa koleksi tercetak diperluas dan dikelola secara lebih beragam lewat bantuan komputer. Dengan kata lain, Hybrid Library bukan hanya perpustakaan tercetak dan elektronik, melainkan gabungan keduanya secara menyeluruh sehingga koleksi tercetak kini dimanfaatkan dengan cara berbeda dibandingkan sebelum ada komputer.
Dalam beberapa perbedaan ini dapat terlihat didalam konsep-konsep Hybrid Library bahwa Hybrid Library ini tetap mempertahankan prinsip selain melakukan digitalisasi juga mempertahankan koleksi tercetak, sebab pada dasarnya pemakai jasa masih memerlukan koleksi tersebut. Selain itu, ada banyak sekali karakteistikr koleksi tercetak yang tidak dapat begitu saja tergantikan oleh digitalisasi. Buku cetak tidak tergantikan oleh buku digital, jurnal tercetak tidak terganti dengan jurnal digital, namun dapat dikatakan pula keberadaan buku digital dan jurnal digital mengubah cara orang menggunakan buku jurnal dan tercetak.
Berdasarkan pemikiran-pemikiran tersebut, perpustakaan yang ingin tetap serius melayani
pemakainya, harus terus memikirkan bagaimana menyediakan akses ke dua jenis koleksi mereka, sekaligus menciptakan lingkungan baru yang mungkin berbeda sama sekali dibandingkan lingkungan informasi yang sebelumnya hanya berbasis koleksi tercetak. Tugas para pustakawan mengelola lingkungan baru ini, sedemikian rupa sehingga para pemakai tetap betah menggunakan jasa mereka sesuai kebutuhan mereka.
Dalam perkembangan selanjutnya, konsep Hybrid Library juga dapat diperluas menjadi lingkungan informasi Hibrida (hibrida hybrid information environment). Di dalam lingkungan seperti ini, maka jenis koleksi bukan satu-satunya penentu karakteristik dari jasa sebuah perpustakaan. Artinya, apa pun jenis koleksinya, sebuah perpustakaan harus dapat mengembangkan suasana yang memungkinkan pemakai memanfaatkan koleksi tersebut. Jika suatu saat sebuah perpustakaan memiliki lebih dari satu jenis koleksi, maka saat itulah perpustakaan tersebut memikirkan lingkungan campuran alias lingkungan hybrid. Kalau penambahan jenis koleksi yang baru tersebut adalah koleksi digital, maka koleksi lama dengan jenis lama tidak perlu disingkirkan, melainkan digabung menjadi bagian dari satu layanan hybrid. Demikian seterusnya, ketika jenis koleksi diperluas menjadi koleksi jarak jauh, maka koleksi lokal atau koleksi jarak dekat tidak perlu dihapus, melainkan digabung lagi menjadi bagian dari lingkungan hybrid. Dengan demikian akhirnya, Hybrid Library dan perpustakaan digital berkembang tanpa harus terlalu sibuk memikirkan kapan tahap satu diganti dengan tahap tang lain, kapan perpustakaan biasa akan lenyap diganti dengan perpustkaan digital sepenuhnya.
DAFTAR PUSTAKA
Putu Laxman Pendit, Perpustakaan Digital Dari A Sampai Z, Jakarta : Cita Karyakarsa Mandiri, 2008.Wiji Suwarno, Pengetahuan Dasar Kepustakaan, Bogor : Ghalia Indonesia, 2010.